Mengenal Nilai dan Filosofi Kehidupan Masyarakat Bugis-Makassar Melalui Olahraga Tradisional Sempaq Raga
Disinyalir sebagai asal muasal permainan bola takraw. Olahraga sempaq (Sepak) raga menyimpan sejarah yang panjang bagi Masyarakat Bugis-Makassar. Di sisi lain juga mencerminkan nilai dan filosofi kehidupan bagi masyarakat setempat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hal demikian tampak dari filosofi dan teknik/cara bermain yang ditunjukkan.
Dalam salah satu catatan sejarah, permainan ini pada mulanya hanya dimainkan dalam ruang sakral kerajaan, seperti media hiburan untuk pelantikan raja, menyambut tamu-tamu kerajaan, dan beberapa acara penting kerajaan. Belum untuk dikonsumsi maupun dimainkan oleh masyarakat umum.
Di sisi lain, sempaq raga juga diyakini sebagai olahraga yang berasal dari langit, yang dibawa dan dimainkan oleh “To Manurung” (Orang dari langit), yang diyakini sebagai raja pertama Kerajaan Gowa. Adapun bolanya terbuat dari emas. Permainan itu yang kemudian diperkenalkan di internal Kerajaan.
Menurut referensi lain menyebutkan bahwa olahraga ini berasal dari Kampung yang bernama Ujung Bulo, Kabupaten Maros, yang kemudian dikenal sebagai Kampung Paraga. Pada saat itu sekitar abad 15 seorang raja bersama rombongannya dari Kerajaan Gowa masuk ke kampung tersebut untuk menyebarkan ajaran islam. Salah satu medium yang ia gunakan ialah melalui sempaq raga.
Olahraga sempaq raga kemudian semakin dikenal luas oleh masyarakat Suku Bugis-Makassar. Tidak hanya dinikmati oleh kaum elit kerajaan. Masyarakat kecil pun telah dapat menikmati keindahan permainan ini. Olahraga ini juga menjadi salah satu suguhan favorit di beberapa acara-acara besar masyarakat Sulawesi Selatan.
Secara teknis, olahraga sempaq raga sangat berbeda dengan Sepak Takraw. Pertama dari segi bola yang digunakan. Bola dari sempaq raga dilapisi tiga anyaman rotan. Beberapa sumber menyebutkan agar bunyinya terdengar nyaring. Sementara itu pakaian yang digunakan ialah pakaian adat Bugis-Makassar, yakni Passapu’ sebagai penutup kepala khas makassar, jas tutup, dan lipa’ sabbe (sarung khas dari Makassar). Pemainnya sendiri terdiri dari dua kelompok, satu tim yang jadi paraga (pemain sempaq raga) dan tim lainnya memainkan musik. Secara mendasar olahraga satu ini dapat dikatakan perpaduan antara kesenian dan olahraga, jadi di samping memainkan bola juga mempertontonkan keindahan seni dari paraga.
Perbedaan lainnya, sempaq raga bisa dimainkan empat bahkan lebih sesuai kebutuhan. Dikarenakan bukan olahraga pertandingan, melainkan olahraga kesenian. Sempaq raga tidak menggunakan scoring system, jaring, dan batas area permainan. Jadi, pure permainan ini lebih mengutamakan keindahan dan kelihaian paraga.
Di samping urusan teknis, sempaq raga menyimpan nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Ini terlihat dari awal hingga secara keseluruhan permainan. Contohnya, ketika memulai permainan, paraga biasanya memulainya dengan berdoa sambil melafalkan kalimat tahlil “Lailahaillalah”. Hal tersebut melambangkan nilai dasar kehidupan yaitu selalu merendahkan diri di hadapan Tuhan. Apapun yang terjadi selama permainan, baik itu keindahan yang ditampilkan semuanya atas izin dan kuasa Tuhan.
Hal yang kedua selalu diperlihatkan dari paraga adalah tanggung jawab. Ketika seorang paraga bermain, ia tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan bolanya ke tanah. Sebisa mungkin, ia harus terus men-juggling bola, walaupun harus menggunakan tangan atau tubuhnya sendiri agar bola tersebut tidak menyentuh tanah. Bahkan ketika paraga sedang betaraksi membentuk formasi, seperti membentuk formasi menara, yang mana paraga akan berdiri di atas teman-temannya yang sedang menopang tubuhnya.
Permainan sempaq raga juga mengajarkan untuk tidak tamak. Hal tersebut tercermin dari tidak diperbolehkannya paraga merebut bola dari paraga lainnya. Bahwa setiap paraga punya peranan penting dan waktunya masing-masing. Selagi seorang paraga memainkan bola, paraga lainnya harus menopang tubuh kawannya, khususnya ketika membentuk formasi menara.
Selain itu, teknik/cara bermain sempaq raga juga memiliki nilai-nilai filosofis yang sudah tertanam sejak dahulu kala. Menurut Mangemba (1959) dalam tulisannya di Majalah Sulawesi yang bertajuk, “Permainan Sempaq Raga”. Ia menuturkan bahwa kuatnya paraga dalam memainkan bola tidak lepas dari nilai filosofis yang ditanamkan oleh nenek moyang. Beberapa pelajaran filosofis yang diajarkan adalah massempeq aratiga (tendangan melambung). Hal ini dimaknai sebagai kewaspadaan kita dari serangan musuh. Secara sederhana ketika seorang paraga mengumpan bola ke paraga lainnya. Paraga tersebut harus sigap menerima kemudian menunjukkan kelihaiannya dalam memainkan bola.
Pelajaran filosofis selanjutnya yang diajarkan adalah massempeq mappalece (tendangan balasan), yang mana konflik sebisa mungkin harus dihindari dalam masyarakat. Secara sederhana dapat ditunjukkan ketika seorang paraga memainkan bola, paraga lainnya tidak diperbolehkan merebutnya sampai dia mendapatkan operan bola.
Beberapa nilai kehidupan dan nilai filosofis di atas dari olahraga tradisional sempaq raga menunjukkan kepada generasi muda bahwa olahraga yang telah diwariskan kepada generasi sekarang dari nenek moyang tidak kalah bagusnya dengan olahraga lainnya. Di samping itu juga menunjukkan jati diri dan identitas sebagai masyarakat Indonesia.
Sudah barang tentu olahraga tradisional seperti sempaq raga kian dilestarikan. Adapun yang mengemban tugas ini tidak hanya pemerintah. Melainkan seluruh elemen masyarakat. Kita harus memiliki kepekaan dan kepedulian agar olahraga tradisional, seperti sempaq raga tetap terjaga dan jikalau memungkinkan dapat dikenal sampai ke mancanegara.
Ahmad Mursyid Amri, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan